arti musyahadah dan mukasyafah

4 Keimanan yang berupa melihat semua wujud yang ada hanya sebegai satu wujud. Inilah tingkatan iman para shiddiqqin (pencinta kebenaran) yang di peroleh dengan cara musyahadah (penyaksian).Dan dalam istilah sufi, tingkatan iman di sebut dengan al-fana’ fi at-tauhid.Jadi ia tidak melihat dirinya, namun batinya bersatu tenggelam dengan zat yang esa. HAKEKATMANUSIA DAN DAYA-DAYA RUH. A. HAKIKAT MANUSIA. 1. Ruh sebagai Hakikat Manusia. Manusia terdiri atas dua bagian yaitu badan dan jiwa. Keduanya merupakan hal yang sama sekali berbeda. Badan adalah materi gelap yang kasar, tersusun, bersifat tanah, tidak berfungsi keadaannya kecuali dengan ruh. Manusia disatu sisi, jasmani, berasal dari Karenaitu, dengan memperhatikan kaidah-kaidah sastra dan tafsir maka tafsir istawa ‘ala al-arasy yang disebutkan pada ayat-ayat di atas bermakna sebuah tempat yang diduduki Tuhan di dalamnya sekali-kali tidak dapat diterima. “. Dia juga berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan SYEIKHAL-QUSHAIRI Musyahadah ialah kehadiran al-Haq didalam hati tanpa rasa bingung dan buntu. Peringkat awal dimulai dengan Muhadarah ( kehadiran hati) kemudian disusuli dengan Mukasyafah (kehadiran hati yang disertai dengan kejelasan) dan yang terakhir musyahadah. 10. BeliILMU KETUHANAN MA'RIFAT MUSYAHADAH MUKASYAFAH MAHABBAH (4M). Harga Murah di Lapak TOKO88ONLINE. Telah Terjual Lebih Dari 1. Pengiriman cepat Pembayaran 100% aman. Belanja Sekarang Juga Hanya di Bukalapak. Site De Rencontre Marocain Pour Mariage. MUKÂSYAFAH adalah manifestasi pengetahuan di dalam hati sufi. Semua hati manusia sebenarnya mempunyai potensi yang sama dalam menerima mukâsyafah. Tetapi, mukâsyafah hanya bisa dicapai kalau antara hati manusia dan lawh al-mahfûzh tidak terhalangi oleh apapun. Penghalang hanya mampu disirnakan oleh para nabi dan wali melalui riyâdhah olah diri dan tazkiyah pensucian diri. Perbedaan antara keduanya hanya teletak pada kemampuan dalam menyaksikan kehadiran sang pembawa pengetahuan. Mukâsyafah dalam diri nabi disebut dengan wahyu, sedangkan pada diri wali disebut ilham. Mukâsyafah tidak didapatkan melalui pengkajian atau penalaran. Mukâsyafah adalah buah dari olah diri dan pensucian yang dilakukan para sufi. Itu semua bagaikan kajian keilmuan yang dilakukan para ulama. Dalam hal ini, kajian keilmuan juga mendapatkan pengetahuan dari lawh al-mahfûzh. Perbedaan antara kajian keilmuan dengan mukâsyafah hanya pada mekanisme pencapaian pengetahuan. Para sufi mendapatkan itu melalui olah diri dan amal saleh yang bertumpu pada hati, sedangkan para ulama melalui pengkajian yang bertumpu pada nalar. Para sufi akan terhalangi di saat melakukan kemaksiatan, sedangkan ulama akan terhalangi oleh kelupaan. Bagi al-Ghazali, mukâsyafah adalah kebenaran Ilahiyah. Argumentasinya dapat dimengerti melalui mimpi yang terkadang memberikan informasi berupa kepastian terjadinya peristiwa di masa depan. Hal ini terjadi karena di saat tidur manusia tidak lagi memperhatikan tuntutan-tuntutan jasmaninya. Namun, pengabaian terhadap tuntutan-tuntutan jasmani tidak hanya terjadi pada saat-saat tidur. Dalam kondisi sadarpun manusia mampu menepisnya dengan melakukan puasa, olah diri, dan pensucian hati. Sehingga dalam kondisi sadar, manusia juga mampu mengetahui peristiwa masa depan tersebut. Tidak ada perbedaan antara mukâsyafah melalui mimpi dengan mukâsyafah dalam kondisi sadar. Yang terpenting adalah kemampuan manusia dalam meminimalisir seluruh tuntutan jasmaninya. Selain mendapatkan mukâsyafah, para sufi juga mencapai musyâhadah. Musyâhadah menjadikan para sufi mampu menyaksikan semua fenomena menakjubkan yang tidak bisa disaksikan di alam nyata. Mereka mampu menyaksikan para malaikat, arwah para nabi, serta dapat mengambil manfaat dari persaksian itu. Klimaks dari itu semua adalah fanâ`. Tahapan ini merupakan tahapan paling akhir dari upaya pendekatan para sufi dengan Tuhan. Dalam tahapan fanâ` ini, para sufi akan senantiasa menyaksikan dan merasakan kehadiran Tuhan. Tak ada lain kecuali hanya Tuhan yang tampak oleh mereka. Ini merupakan empati tertinggi para sufi. Fanâ` hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang telah merasakan empati itu. Mempublikasikan empati tersebut kepada masyarakat umum akan melahirkan tuduhan kafir terhadap mereka. Ketidakpahaman terhadap empati itu akan memunculkan klaim panteisme dan inkarnasi. Klaim tersebut muncul akibat ketidakpahaman masyarakat umum mengenai arti fanâ` dalam dunia sufisme. Pengingkaran al-Ghazali terhadap panteisme dan inkarnasi tidak berarti ia mengkafirkan para imam sufi yang mempunyai teori itu. Ia hanya melarang jika teori itu dijalankan oleh masyarakat biasa yang tidak memahami kaidah-kaidah sufisme. Tetapi, itu pun tidak berarti bahwa al-Ghazali merestui teori penteisme dan inkarnasi. Artinya, ia tidak melihat bahwa statemen-statemen para tokoh sufi mengandung arti penyatuan antara Tuhan dengan hamba-Nya. Statemen-statemen mereka tidak bisa dipahami hanya melalui peranti-peranti tekstual. Oleh karena itu, apa yang dikatakan oleh Abu Yasid al-Busthami, “Maha suci aku dan tidak ada entitas yang lebih agung dariku,” tidak boleh diklaim sebagai bentuk kekufuran. Statemen tersebut tidak berarti bahwa dirinya telah menyatu dengan Tuhan. Justru itu merupakan sebuah ungkapan atas kebesaran Tuhan yang sedang disaksikannya. Artinya, Abu Yazid menganggap dirinya telah mencapai tingkatan paling atas dalam dunia sufisme, sehingga posisinya di hadapan Tuhan tidak tertandingi oleh entitas apapun. Demikianlah konsep tasawuf yang dikembangkan al-Ghazali di dalam dinasti Saljuk yang berpaham Sunni. Jelas, konsep ini jauh berbeda dengan konsep tasawuf Syi’ah Batiniyah yang sangat identik dengan panteisme dan inkarnasi. Kerhadiran konsep tasawuf al-Ghazali diharapkan menjadi alternatif untuk menggatikan tasawuf Batiniyah. Namun, akibat bias ideologi Sunni pemikiran al-Ghazali nampak paradoks. Pemikiran-pemikirannya terkesan tidak selaras dan saling berbenturan. Ini bisa dilihat dari konsep tasawuf rumusannya yang bertolak belakang dengan ilmu logika yang dipromosikannya. Himbauan untuk bertasawuf hingga mencapai mukâsyafah akan menghantam himbaunnya untuk mempelajari ilmu logika. Antara ilmu mukâsyafah dengan ilmu logika adalah dua hal yang saling berlawanan. Memang, mukâsyafah dan ilmu logika sama-sama mendapatkan pangetahuan dari lawh mahfûzh. Tetapi keduanya tetap berbeda, perbedaannya adalah pada mekanisme pancapaian pengetahuan. Ilmu logika bersandar pada pijakan-pijakan akal, sedang ilmu mukâsyafah justru menihilkan penalaran. Mukâsyafah tidak hanya akan membentur himbauannya akan urgensi ilmu logika, tetapi juga akan membentur pelarangannya terhadap filsafat. Sebetulnya, bila diamati lebih jauh, paradoksalitas pemikiran al-Ghazali lebih disebabkan karena beratnya beban ideologi aliran Sunni yang menindih pundaknya. Himbauannya untuk mempelajari ilmu logika sebenarnya merupakan upayanya untuk menggantikan konsep pembimbing suci’ aliran Syi’ah Batiniyah. Sementara, rumusan tasawufnya sengaja dicanangkan untuk menjadi pengganti atas bangunan spiritualitas Syi’ah Batiniyah. Begitu pula pengkafirannya terhadap filsafat tidak lain adalah untuk mematikan landasan filsafat Syi’ah Batiniyah tersebut. Dalam pandangan al-Ghazali, filsafat Batiniyah adalah perwujudan dari filsafat Neoplatonisme yang dikembangkan al-Farabi dan Ibnu Sina. Sehingga, pengkafiran terhadap al-Farabi dan Ibnu Sina diharapkan akan dapat meruntuhkan dasar-dasar filsafat Syi’ah Batiniyah.[] MA’NA MUSYAHADAH DALAM TASAWUF Pengertian musyahadah Musyahadah berpangkal dari kata syahidna pada surah Al araf 172. Di kala ruh manusia berbaat atau ber sumpah setia dalam alam arwah Allah bertanya ; “ Alastu bi Rpbbikum ?” apakah aku adalah tuhanmu? , Ruh manusia pun menjawab ; “ Bala syahidna” pasti yaa Allah , kami bersaksi. Musyahadah juga bisa berarti nampaknya allah pada hambanya dimana seorang hamba tidak melihat sesuatu apapun dalam beribadah ,kecuali hanyalah menyaksikan dan meyakini dalam hatinya ,bahwa ia hanyalah berhadapan dan dilihat oleh beribadah ia tidak menghiraukan lagi terhadap sesuatu yang disekelilingnya , termasuk dirinya sendiri karena asiknya berhubungan dengan allah seakan-akan allah benar-benar Nampak dihadapannya. Ada kaitan antara musyahadah, muhadarah , dan mukhasyafah. Muhadarah yang berrati kehadiran kalbu, mukhasyafah yang berarti kehadiran kalbu dengan sifat yang nyata, musyahadah adalah kehadiran al-haqq dengan tanpa dibayangkan. Secara sikologis , kondisi kejiwaan ornag yang musyahadah senantiasa penuh dengan pencerahan dan suka cita setiap saat. Orang yang mengalami musyahadah, jiwanya terang benerang penuh dengan cahaya ketuhanan, seolah mampu mengubah malam yang gelap gulita, menjadi terang benerang oleh cahaya kalbunya yang terus bersinar terang. Berati bisa disimpulan bahwa seorang yang mencapai tingkat musyahadah akan bersaksi dan bersumpah setia bahwa dirinya hanya milik Allah dan drinya adalah hamba Allah yang akan selalu mematuhi segala perintah Allah dan menjauhi semua larangan Allah, juga bagi seorang yang musyahadah adalah mereka yang selalu menanamkan dalam hatinya dzat Allah. Mereka akan melakukan kesaksian hati kepada Allah Al Ahad, Lisannya bersahadat dengan mengucapkan syahadatain, Hatinya bermusyahadah dengan takarub bil batin, Nuraninya bermusyahadah dengan iman dan keyakinan, raganya juga bermusyahadah dengan suatu tindakan baik atau amal saleh. Biru yang kita pandang di dalam maharuang ini bukan langit, melainkan batas pandang. Di situlah letak alam jin atau oleh nonmuslim dikenal juga sebagai alam dewa-dewi atau nirwana. Kalau orang banyak mengejar ke situ, sama dengan masuk ke alam jin. Di alam jin itu, para jin bisa membentuk apa saja yang mereka mau untuk menipu manusia. Manusia kira masuk ke situ masuk ke Kosong, padahal itu masih kosong zat-asam; masih alam baharu; masih ber-zat. Sedangkan Kosong Zat-Mutlak itu alam Mahasuci; Kosong yang tidak ber-zat. Itulah alam Mahasuci. Sekalian alam penuh-kosong; kosong Maharuang. Jadi, terang, gelap, kabut, semua itu sesuatu atau baharu. Orang tauhid bukan memandang baharunya, melainkan memandang qadimnya. Orang tauhid memandang Kosong yang tidak ber-zat. Itulah yang dipandang. Jika kita hendak mengetahui hakikat alam, renungkanlah titik awal. Mana titik awal itu? Kosong Zat-Mutlak. Itulah awal titik. Siapa dapat merenungkan awal titik ini, dapatlah ia mengetahui isi dunia. Tuhan itu Rahasia Ahadiyat atau Rahasia Laa ta`yin. Renungkan betul-betul awal titik itu. Kalau kesadaran merenungkan titik awal itu men-"jadi", akan kita rasakan tenggelam sekalian alam kembali tiada; dan kita rasakan juga tenggelamnya diri kita. Kalau sudah kita rasakan tenggelam semua, barulah timbul rasa isbat. Ini pun yang merasakan hanya sirr di dalam hati. Barulah kita paham tentang tawajjuh dan muraqabah [= berhadap]. Keduanya itu sama, hanya berlainan bahasa saja. Batin Muhammad itu Rahasia pada kita. Jadi, Muhammad itu berhimpun pada Rahasia. Kita disuruh mengenal, tentu matilah kita dalam pengenalan itu. Siapa mengenal Tuhannya, maka binasalah dirinya. Maksud binasa di sini bukan hancur lebur atau hilang, melainkan tiada merasa ada diri. Dalam shalat pun kita disuruh mengenal. Yang dinamai Rahasia, itulah Zat. Untuk dapat lebih sempurna lagi, perlu kita mengetahui dan mengenal betul-betul sampai paham jalan musyahadah yang ada pada diri kita ini. Yang nyata adanya pada diri kita ini dan nyata pada sekalian alam, yaitu Zat-Nya, Sifat-Nya, Asma-Nya, dan Af`al-Nya. Lakukanlah musyahadah, yakni pandangan hati yang berkekalan dengan Allah. Karena yang empat macam ini ada pada diri kita dan ada pada sekalian alam. Lakukanlah muraqabah, jangan berpaling kepada yang lain atau jangan berpaling pada sesuatu. Tidak terlepas dari yang kira intai. Lalukanlah mukasyafah, sampai terbuka tirai kita dengan Tuhan. Barulah kita mengetahui alam-alam yang penuh jin, setan, Iblis. Itu makhluk-makhluk penipu manusia. Bisa memperbuat macam-macam membuat sidratul muntaha buatan, membuat surga-neraka buatan, dll. Semua yang ada di benak manusia diketahuinya dan mereka bisa membuat segala yang ada di pikiran manusia itu. Sekali lagi, batas pandang berwarna biru yang kita lihat dari bumi, itu bukan nirwana, melainkan alam jin. Petunjuk-petunjuk dari alam jin inilah yang diterima oleh penggagas Hinduisme purba dan oleh Siddharta Gautama. Petunjuk-petunjuk lasut itu kemudian menyebar luas dan menjelma menjadi budaya-budaya kebatinan di segenap penjuru bumi. Jadi, orang tauhid yang sudah dapat musyahadah, muraqabah, dan mukasyafah tidak akan tertipu dengan permainan-permainan dari alam jin itu. Karena mendapat mukasyafah, 'terbuka tirai' kita dengan Tuhan, maka Tuhan buka dan Tuhan tunjukkan pada kita. Itulah maka kita bisa tahu. Yang sudah mendapat muraqabah, 'tidak terlepas intaian, tidak berpaling lagi kepada yang bukan Tuhan' tentu terbukalah juga tirai dengan Tuhan. Dengan mukasyafah ini kita juga tahu bahwa lafal alif-lam-lam-ha itu hanya menunjukkan Nama. Nama menunjukkan adanya Zat. Adanya Tuhan itu bukan pada lafal alif-lam-lam-ha. Kalau pada lafal alif-lam-lam-ha keyakinan seseorang, berarti ia bertuhankan lafal. Sudah tahu lafal itu Nama-Nya. Nama-Nya itu bukan Tuhan. Kalau sudah paham tentang hakikat dan makrifat, segala apa pun yang kita kerjakan semua itu dari Allah kepada Allah dan kembali ke sumber pekerjaannya. Pekerjaan shalat, berzikir, dan lain-lain itu menunjukkan pekerjaan Yang Punya Rahasia. Simpulannya, pekerjaan Rahasia Allah. Mengapa dikatakan pekerjaan Rahasia Tuhan? Sebab terbitnya segala sesuatu dan lain-lain itu dari Allah kepada Allah. Kita telah mempelajari ilmu tauhid. Dari segi tauhid, yang kita lakukan shalat, berzikir, dan lain-lain, semua itu menunjukkan Zat Allah yang bersifat Ta`sir [Kebesaran]. Sifat Ta`sir ini terdiri atas empat Sifat Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat. Jangan disepelekan masalah tauhid. Orang makrifat selalu berkekalan dengan Allah. Tetap dengan Allah. Dia tidak mengingat dirinya yang zahir maupun yang batin. Jelaslah, makrifat itu meraibkan yang batin, bukan meraibkan yang zahir. Kalau batinnya tetap tertuju pada Allah, tentulah keadaanya yang zahir tidak ada yang mengendalikannya karena yang zahir itu dari yang batin. Maka lepaslah yang zahir itu akan dirinya yang batin-dikarenakan yang batin kekal dengan Allah. Itulah dikatakan fana. Fana itu bukan memfana-fanakan diri atau merasa-rasakan diri tidak ada. Kekalkan saja batin dengan Allah. Itulah yang dikatakan fana fillah tidak merasa ada zahir-batin; yang Ada Allah saja. Inilah juga rasa isbat. Maka dalam ibadah, berzikir, berbicara, dan apa saja, jangan lupa Nama dengan Yang Punya Nama tidak becerai. Kita berkata, Yang Punya Kata Berkata. Kita melihat, Yang Punya Lihat Melihat. Kalau semua kembali kepada Zat-Nya tentulah kita sudah kembali `adam [tiada]. Ingatlah, zikir makrifat itu dengan perasaan. Pada perasaan sudah Allah saja ADA. Tidak pakai baca-baca lagi, juga tidak dengan hati. Dibaca dengan Rabbani atau dengan makrifat, yaitu dirasakan. Untuk lebih jelas lagi, perlu diketahui jalan musyahadah itu ada empatmusyahadah Af`al; musyahadah Asma; musyahadah Sifat; musyahadah Zat. Jalan yang empat ini, kembali kepada hakikat Diri. Bukankah Allah itu dikenal dengan Zat-Nya, Sifat-Nya, Asma-Nya, dan Af`al-Nya?! Keempat ini juga meliputi sekalian alam dan diri kita, yaitu tubuh, hati, nyawa, dan rahasia. Hakikat diri insanzahirnya terdiri atas tubuh-hati-nyawa-rahasia; batinnya terdiri atas Zat-Sifat-Asma-Af`al. Oleh sebab itu, berlakulah dua perkara zahir dan batin. Maka dikatakanlah oleh ahli makrifat Syariatun bila haqiqatun atilatun; 'syariat tanpa hakikat sia-sia'; Haqiqatun bila syariatun bathilun; 'hakikat tanpa syariat batal'. Maka syariat dan hakikat tidak bisa becerai. Siapa bilang orang tauhid membunuh syariat? Hanya orang tasawuf buta yang berani meninggalkan syariat. Perkataan arif billah di atas itu sudah banyak orang ketahui, tetapi jalan cerita pengenalannya yang banyak orang tidak tahu, yaitu mengenai sebab syariat dan hakikat itu tidak bisa dipisahkan. Adapun insan itu nama yang zahir; Adapun Allah itu nama yang batin. Nama yang zahir pada insan itu tubuh-hati-nyawa-rahasia; Nama yang batin pada Allah itu Zat Allah-Sifat Allah-Asma Allah-Af`al Allah. Di sinilah baru kita dapat mengetahui bahwa huruf yang pertama dijadikan itu huruf ﻫ. Kemudian ﻫ menjadi ﺏ, kemudian ﺏ pecah menjadi sekalian alam. Dalam titik [.] sudah ada ا [alif]. Karena kuatnya tekanan ketuhanan, pecah titik, jadilah alif. [Nur Muhammad pecah, jadilah sekalian alam]. Di sinilah baru kita tahu, rupanya sifat yang zahir kenyataanya pada sifat napas. Kalau tidak ada napas tentu tidak dapat bergerak. Sifat napas kenyataannya pada sifat nyawa. Sifat nyawa kenyataannya pada Tuhan. Janganlah berpegang pada napas atau pada nyawa. Berpeganglah pada Tuhan. Tuhan tidak keluar-masuk, tidak naik-turun. Yang naik-turun itu napas, bukan Tuhan. Jangan dimain-mainkan napas itu! Masak napas keluar dijadikan Allah; napas masuk dijadikan Zat. Sebaiknya berpeganglah pada makrifatnya, yaitu pada Tuhan, bukan pada napas. Selagi hidup napas kita siksa ditarik-dikeluarkan, ditahan-tahan. Tidak boleh menyiksa napas begitu. Yang kita takuti, waktu sakaratul maut, nanti napas akan balik menyiksa kita. Coba lihat kenyataannya, baru berumur 50 tahunan berjalan dekat saja sudah poso; susah bernapas. Umumnya orang yang suka memain-mainkan napas kalau sudah berumur 40 tahunan, penyakitnya itu tiada lain pendek napas. Bagaimana kalau sudah kena alunan sakaratul maut? Mungkin nanti mulutnya menganga, lidah terjulur, mata melotot-lotot, badan gelisah kepanasan. Ini bukan mencela-menghina, sekadar mengingatkan karena sudah banyak terjadi. Jangan sampai Saudara-Saudaraku mengalami hal sedemikian. Pokoknya, jangan suka menyiksa napas. Kalau sudah berbalik napas yang menyiksa kita Siradj Adam Troy Effendy By Published 2013-02-20T045000+0700 Musyahadah, Muraqabah, dan Mukasyafah Membongkar Tipu Daya Jin, Setan, Iblis Penggagas Kebatinan dan Meluruskan Amal Tasawwuf Buta 5 411 reviews MUHADHARAH, MUKASYAFAH, DAN MUSYAHA­DAH Muhadharah adalah kehadiran hati, kemudian setelah itu terjadi mukasyafah, yaitu kehadiran hati yang disertai kejelasan ketersingkapan, kemudian timbul musyahadah, yaitu kehadiran Al-Haqq dalam hati tanpa bingung dan linglung. Jika “langit sirri” rahasia ketuhanan bersih dari “mendung sitru”, maka “matahari kesaksian” terbit dari bintang kemuliaan. Hakikat musyahadah seperti yang dikatakan Imam Al-Junaid, semoga Allah merahmatinya, “Wujud Al-Haqq bersama kelenyap­anmu. Salik yang mengalami muhadharah terikat dengan ayat­-ayat-Nya. Salik yang mencapai mukasyafah dilapangkan dengan sifat-sifat-Nya. Dan salik yang memiliki musyahadah ditemukan dengan Dzat-Nya. Salik yang muhadharah akalnya menunjuk­kannya. Salik yang mukasyafah ilmunya mendekatkannya. Dan salik yang musyahadah ma’rifatnya menghapusnya.” Tidaklah bertambah penjelasan mengenai hakikat musya­hadah kecuali diperkuat dengan apa yang diutarakan Amru bin Utsman Al-Maki, semoga Allah merahmatinya. Inti ucapan yang disampaikannya adalah menerangkan bahwa hakikat musyahadah adalah cahaya-cahaya tajalli yang datang susul-menyusul pada hati salik tanpa disusupi sitru dan keterputusan, sebagaimana susul-menyusulnya kedatangan kilat. Malam yang gelap gulita dengan disertai kilat yang datang susul-menyusul dan sambung ­menyambung dapat menjadikannya terang seperti dalam siang. Demikian juga hati jika senantiasa diterangi dengan keabadian tajalli, maka kenikmatan “anugerah siang” kiasan tentang konti­nuitas anugerah keilahian dan ketersingkapan ketuhanan dengan pemanjangan waktu siang hingga menjangkau malam hari akan selalu mengada, sehingga malam tidak lagi ada. Mereka bersyair malamku dengan wajah-Mu terbit bersinar cahaya kegelapannya pada manusia berjalan di waktu malam manusia dalam kepekatan malam yang gelap gulita sedang kami dalam cahaya siang yang terang benderang An-Nuri berkata, “Tidak sah musyahadah salik selama dia dalam keadaan hidup. Jika waktu pagi terbit, lampu tidak dibu­tuhkan lagi.” Segolongan ulama sufi membayangkan bahwa musyahadah menunjukkan keberadaan ujung taftiqah perpisahan, lihat pasal arqu karena bab mufa’alah timbangan kata dalam bahasa Arab hanya terjadi dalam penerapan di antara dua makna. Ini jelas menunjukkan khayalan pelakunya karena di dalam penampakan AI-Haqq adalah kehancuran makhluk. Dalam syair dikatakan ketika menjadi terang pagi hari cahayanya memancar dengan sinar-sinar yang berasal dari pantulan sinar-sinar bintang meminumkan pada mereka segelasdemi segelas saat cobaan membakar sehingga membuatnya terbang secepat orang yang pergi menghilang Gelas apapun akan mencabut mereka dari akamya dan mem­buat mereka fana’ hancur. Gelas menyambar mereka dan tidak membiarkan mereka, tetap dalam keberadaan. Padahal tidak ada gelas yang menetapkan dan memercikkan mereka. Gelas yang mencabut mereka secara keseluruhan dan tidak sedikit pun tulang-belulang manusia yang masih membekas dan ada , adalah seperti yang dikatakan sufi “Mereka berjalan di malam hari tidak tetap, tidak membekas dan tidak meninggalkan jejak.” ………………. Keterangan Dalam pengertian ini Allah berfirman “Kalau sekiranya Kami turun­kan AI-Quran ini pada gunung, niscaya engkau melihatnya tunduk tersungkur terpecah belch disebabkan takut kepada Allah.” QS. AI-Hasyr- 21 sumber Oleh H. Mas’oed Abidin يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa orang memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok akhirat, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” Al Hasyr 18 Adalah menjadi kewajiban setiap orang merancang dan mempersiapkan hari esok yang lebih baik. Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa seorang akan merugi kalau hari esoknya sama saja dengan hari ini, bahkan dia menjadi terkutuk jika hari ini lebih buruk dari kemarin. Seseorang baru dikatan bahagia, jika hari esok itu lebih baik dari hari ini. Membangun hari esok yang baik, sesuai dengan ayat wahyu Allah SWT di atas dimulai dengan perintah bertaqwa kepada Allah dan di akhiri dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berfikir, serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok haruslah dengan taqwa. Semestinya orang Mukmin punya langkah antisipatif terhadap kemungkinan yang dapat terjadi esok disebabkan kelalaian hari ini. Seorang mukmin sudah dapat memprediksi dan mempersiapkan hari esok yang lebih baik, dinamis, lebih mapan, lebih produktif dari pada hari ini. Simpulannya, mesti ada peningkatan prestasi dari hari ke hari. Hari esok dapat berarti masa depan dalam kehidupan pendek di dunia ini. Hari esok juga berarti pula hari esok yang hakiki, yang kekal abadi di akhirat kelak. Hari esok mesti dirancang harus lebih baik dari hari ini, dengan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, dengan melaksanakan lima “M ” ; yaitu Mu’ahadah, Mujahadah, Muraqabah, Muhasabah, dan Mu’aqabah.[1] 1. Mu’ahadah Mu’ahadah adalah mengingat perjanjian dengan Allah SWT. Sebelum manusia lahir ke dunia, masih berada pada alam gaib, yaitu di alam arwah, Allah telah membuat “kontrak” tauhid dengan ruh. Kontrak tauhid ini terjadi ketika manusia masih dalam keadaan ruh belum berupa materi badan jasmani. Karena itu, logis sekali jika manusia tidak pernah merasa membuat kontrak tauhid tersebut. Mu’ahadah konkritnya diikrarkan oleh manusia mukmin kepada Allah setelah kelahirannya ke dunia, berupa ikrar janji kepada Allah. Wujudnya terefleksi minimal 17 kali dalam sehari dan semalam, bagi yang menunaikan shalat wajib, sebagaimana tertera di dalam surat Al Fatihah ayat 5 yang berbunyi “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Artinya, engkau semata wahai Allah yang kami sembah, dan engkau semata pula tempat kami menyandarkan permohonan dan permintaan pertolongan. Ikrar janji ini mengandung ketinggian dan kemantapan aqidah. Mengakui tidak ada lain yang berhak disembah dan dimintai pertolongan, kecuali hanya Allah semata. Tidak ada satupun bentuk ibadah dan isti’anah Permintaan Pertolongan yang boleh dialamatkan kepada selain Allah SWT.[2] Mu’ahadah yang lain adalah ikrar manusia ketika mengucapkan kalimat “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya kuperuntukkan ku-abdikan bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam.” 2. Mujahadah Mujahadah berarti bersungguh hati melaksanakan ibadah dan teguh berkarya amal shaleh, sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT yang sekaligus menjadi amanat serta tujuan diciptakannya manusia. Dengan beribadah, manusia menjadikan dirinya abdun hamba yang dituntut berbakti dan mengabdi kepada Ma’bud Allah Maha Menjadikan sebagai konsekuensi manusia sebagai hamba wajib berbakti beribadah. Mujahadah adalah sarana menunjukkan ketaatan seorang hamba kepada Allah, sebagai wujud keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya. Di antara perintah Allah SWT kepada manusia adalah untuk selalu berdedikasi dan berkarya secara optimal. Hal ini dijelaskan di dalam Al Qur’an Surat At Taubah ayat 5, “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa-apa yang telah kamu kerjakan.” Orang-orang yang selalu bermujahadah merealisasikan keimanannya dengan beribadah dan beramal shaleh dijanjikan akan mendapatkan petunjuk jalan kebenaran untuk menuju ridha Allah SWT hidayah dan rusyda yang dijanjikan Allah diberikan kepada yang terus bermujahadah dengan istiqamah. Kecerdasan dan kearifan akan memandu dengan selalu ingat kepada Allah SWT, tidak terpukau oleh bujuk rayu hawa nafsu dan syetan yang terus menggoda. Situasi batin dari orang-orang yang terus musyahadah menyaksikan keagungan Ilahi amat tenang. Sehingga tak ada kewajiban yang diperintah dilalaikan dan tidak ada larangan Allah yang dilanggar. Jiwa yang memiliki rusyda terus hadir dengan khusyu’. Inilah sebenarnya yang disebut mujahidin ala nafsini wa jawarihihi, yaitu orang yang selalu bersungguh dengan nuraninya dan gerakannya. Syeikh Abu Ali Ad Daqqaq mengatakan “Barangsiapa menghias lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadah.” Imam Al Qusyairi an Naisaburi [3] mengomentari tentang mujahadah sebagai berikut Jiwa mempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam mencari kebaikan; Pertama larut dalam mengikuti hawa nafsu, Kedua ingkar terhadap ketaatan. Manakala jiwa ditunggangi nafsu, wajib dikendalikan dengan kendali taqwa. Manakala jiwa bersikeras ingkar kepada kehendak Tuhan, wajib dilunakkan dengan menolak keinginan hawa nafsunya. Manakala jiwa bangkit memberontak, wajib ditaklukkan dengan musyahadah dan istigfar. Sesungguhnya bertahan dalam lapar puasa dan bangun malam di perempat malam tahajjud, adalah sesuatu yang mudah. Sedangkan membina akhlak dan membersihkan jiwa dari sesuatu yang mengotorinya sangatlah sulit. » Mujahadah adalah suatu keniscayaan yang mesti diperbuat oleh siapa saja yang ingin kebersihan jiwa serta kematangan iman dan taqwa. وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيد ِ * إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ * مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ “Dan sesunggunya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, yaitu ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan adal di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir”. Qaaf 16-18. 3. Muraqabah Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya. Kehati-hatian mawas diri adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya. Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah merasa diawasi oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari.” » Syeikh Abu Utsman Al Maghriby mengatakan, “Abu Hafs mengatakan kepadaku, manakala engkau duduk mengajar orang banyak jadilah seorang penasehat kepada hati dan jiwamu sendiri dan jangan biarkan dirimu tertipu oleh ramainya orang berkumpul di sekelilingmu, sebab mungkin mereka hanya melihat wujud lahiriahmu, sedangkan Allah SWT memperhatikan wujud batinmu.” » Dalam setiap keadaan seorang hamba tidak akan pernah terlepas dari ujian yang harus disikapinya dengan kesabaran, serta nikmat yang harus disyukuri. Muraqabah adalah tidak berlepas diri dari kewajiban yang difardhukan Allah SWT yang mesti dilaksanakan, dan larangan yang wajib dihindari. Muraqabah dapat membentuk mental dan kepribadian seseorang sehingga ia menjadi manusia yang jujur. Berlaku jujurlah engkau dalam perkara sekecil apapun dan di manapun engkau berada. Kejujuran dan keikhlasan adalah dua hal yang harus engkau realisasikan dalam hidupmu. Ia akan bermanfaat bagi dirimu sendiri. Ikatlah ucapanmu, baik yang lahir maupun yang batin, karena malaikat senantiasa mengontrolmu. Allah SWT Maha Mengetahui segala hal di dalam batin. Seharusnya engkau malu kepada Allah SWT dalam setiap kesempatan dan seyogyanya hukum Allah SWT menjadi pegangan dlam keseharianmu. Jangan engkau turuti hawa nafsu dan bisikan syetan, jangan sekali-kali engkau berbuat riya’ dan nifaq. Tindakan itu adalah batil. Kalau engkau berbuat demikian maka engkau akan disiksa. Engkau berdusta, padalah Allah SWT mengetahui apa yang engkau rahasiakan. Bagi Allah tidak ada perbedaan antara yang tersembunyi dan yang terang-terangan, semuanya sama. Bertaubatlah engkau kepada-Nya dan dekatkanlah diri kepada-Nya Bertaqarrub dengan melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya.” » [4] وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إلاَّ مَا سَعَى وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ اْلأَوْفَى وَأَنَّ إِلَى رَبِّكَ الْمُنْتَهَى وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى وَأَنَّهُ هُوَ أَمَاتَ وَأَحْيَا “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan segala sesuatu, dan bahwasanya DIA yang menjadikan orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya DIA yang mematikan dan yang menghidupkan.” QS. An-Najm 39-44 4. Muhasabah Muhasabah berarti introspeksi diri, menghitung diri dengan amal yang telah dilakukan. Manusia yang beruntung adalah manusia yang tahu diri, dan selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan kelak yang abadi di yaumul akhir. Dengan melakasanakan Muhasabah, seorang hamba akan selalu menggunakan waktu dan jatah hidupnya dengan sebaik-baiknya, dengan penuh perhitungan baik amal ibadah mahdhah maupun amal sholeh berkaitan kehidupan bermasyarakat. Allah SWT memerintahkan hamba untuk selalu mengintrospeksi dirinya dengan meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah SWT. Diriwayatkan bahwa pada suatu ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib melaksanakan shalat shubuh. Selesai salam, ia menoleh ke sebelah kanannya dengan sedih hati. Dia merenung di tempat duduknya hingga terbit matahari, dan berkata ; “Demi Allah, aku telah melihat para sahabat Nabi Muhammad SAW. Dan sekarang aku tidak melihat sesuatu yang menyerupai mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan pucat pasi, mereka melewatkan malam hari dengan sujud dan berdiri karena Allah, mereka membaca kitab Allah dengan bergantian mengganti-ganti tempat pijakan kaki dan jidat mereka apabila menyebut Allah, mereka bergetar seperti pohon bergetar diterpa angin, mata mereka mengucurkan air mata membasahi pakaian mereka dan orang-orang sekarang seakan-akan lalai bila dibandingkan dengan mereka.” » Muhasabah dapat dilaksanakan dengan cara meningkatkan ubudiyah serta mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Berbicara tentang waktu, seorang ulama yang bernama Malik bin Nabi berkata ; “Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali ia berseru, “Wahai anak cucu Adam, aku ciptaan baru yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.” » [5] Waktu terus berlalu, ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya. Allah SWT bersumpah dengan berbagai kata yang menunjuk pada waktu seperti Wa Al Lail demi malam, Wa An Nahr demi siang, dan lain-lain. Waktu adalah modal utama manusia. Apabila tidak dipergunakan dengan baik, waktu akan terus berlalu. Banyak sekali hadits Nabi SAW yang memperingatkan manusia agar mempergunakan waktu dan mengaturnya sebaik mungkin. نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا َكثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ وَ الفَرَاغُ “Dua nikmat yang sering disia-siakan banyak orang Kesehatan dan kesempatan waktu luang.” Bukhari melalui Ibnu Abbas 5. Mu’aqabah Muaqabah artinya pemberian sanksi terhadap diri sendiri. Apabila melakukan kesalahan atau sesuatu yang bersifat dosa maka ia segera menghapus dengan amal yang lebih utama meskipun terasa berat, seperti berinfaq dan sebagainya. Kesalahan maupun dosa adalah kesesatan. Oleh karena itu agar manusia tidak tersesat hendaklah manusia bertaubat kepada Allah, mengerjakan kebajikan sesuai dengan norma yang ditentukan untuk menuju ridha dan ampunan Allah. Berkubang dan hanyut dalam kesalahan adalah perbuatan yang melampaui batas dan wajib ditinggalkan. Di dalam ajaran Islam, orang baik adalah orang yang manakala berbuat salah, bersegera mengakui dirinya salah, kemudian bertaubat, dalam arti kembali ke jalan Allah dan berniat dan berupaya kuat untuk tidak akan pernah mengulanginya untuk kedua kalinya. Shadaqallahul’azhim. Allahu A’lamu Bissawab. Catatan kaki ; [1] Syeikh Abdullah Nasih Ulwan dalam bukunya Ruhniyatut Da’iyah’ [2] Demikian komentar Imam as Syaukani dalam kitab tafsirnya Fathul Qadir’ dan Syeikh Ali As Shabuni dalam kitab tafsirnya Shafwatut Tafaasir’. [3] Kitab tasawuf, “Risalatul Qusyairiyah”. [4] Syeikh Abdul Kadir Jailany memberikan nasehat kepada kita sebagaimana yang terdapat dalam kitabnya Al Fathu Arrabbaani wa Al Faidh Ar Rahmaani. [5] Malik bin Nabi dalam bukunya Syuruth An Nahdhah

arti musyahadah dan mukasyafah